Ganjar Seharusnya Bisa Tindak Wali Kota Tegal sebelum Ditangkap KPK
SEMARANG - Analis politik dan kebijakan publik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono menilai Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo seharusnya bisa memberi tindakan kepada Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siti diketahui ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Selasa 29 Agutus 2017 lalu.
Menurut dia, Ganjar telah mengetahui ada ketidakberesan birokrasi di Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal. Namun, Ganjar tidak segera menindak wali kotanya. “Gubernur hanya memberi imbauan saja tanpa melakukan eksekusi. Jelas hal itu jadi masalah. Seharusnya gubernur bisa melakukan tindakan preventif,” kata Teguh Yowono dalam acara Dialog Interaktif yang digelar Radio Sindo Trijaya 89.8 FM Semarang di rumah dinas Gubernur Jateng, Puri Gedeh, Semarang, Selasa (5/9/2017).
Dalam dialog interaktif bertajuk “Membangun Jateng yang Berintegritas”, Teguh Yuwono menjelaskan, jika pelaku tindak korupsi atau gratifikasi tersebut pegawai pemerintah, maka gubernur bisa menindaknya dengan mudah. Sebaliknya, apabila pelakunya kepala daerah yang merupakan produk pemilihan langsung dari rakyat melalui pilkada, maka peran politik seorang gubernur yang dinilainya masih kesulitan. “Karena apa yang disampaikan gubernur bisa tidak digubris oleh kepala daerah dalam hal ini bupati atau wali kota. Maka positioning gubernur ada di sini,” paparnya.
Teguh mengakui jika adanya whistleblower atau pelapor pelanggaran di level staf di internal birokrasi bisa mengungkap sebuah penyelewengan. Masalahnya, tidak ada perlindungan hukum terhadap whistleblower. “Kabupaten dan kota itu seperti hutan belantara. Siapa yang bisa memberi jaminan kepada whistleblower bahwa mereka tidak dinonjobkan,” pungkasnya.
Menanggapi kritikan yang dilontarkan Teguh Yuwono, Ganjar Pranowo menyatakan, gubernur di Jateng memiliki kewenangan berbeda dengan gubernur DKI Jakarta yang bisa langsung memberi sanksi kepada wali kota. “Kalau gubernur dikasih kewenangan (seperti di DKI), ya saya akan habisi semua itu, coba kasih saya kewenangan. Maka yang bisa memagari ini adalah etik (etika masing-masing kepala daerah),” ujar Ganjar.
Sementara itu, sejak mencuatnya kasus penangkapan Bupati Klaten oleh KPK akhir tahun 2016 lalu, Ganjar Pranowo telah mengumpulkan seluruh bupati dan wali kota se-Jateng di Magelang. Menurut Ganjar, dalam pertemuan tersebut, semua kepala daerah menyatakan sepakat untuk menjaga integritas. “Pertemuan lanjutan para kepala daerah kemudian dilakukan di Solo. Salah satunya diisi dengan paparan dari KPK,” katanya.
Ganjar mengakui, tidak habis pikir dan tidak tahu lagi apa yang perlu disampaikan agar kasus tindak korupsi ataupun gratifikasi yang menjerat kepala daerah di wilayahnya, tidak terulang. “Ya hanya satu kata saja risiko, kamu (kepala daerah) melakukan maka itulah risikonya,” tukas Ganjar.
Politisi PDI Perjuangan ini mengungkapkan, dia memang sempat menelepon tiga kepala daerah karena menerima laporan dari masyarakat terkait penyimpangan di daerah itu. Bahkan, dia telah memberikan peringatan kepada ketiganya agar berhati-hati dan mengubah perilaku. “Cuma masalahnya di beberapa tempat (kepala daerah) menyatakan, mereka mengelak dan menjawab bahwa itu fitnah,” ungkapnya.
Calon Perseorangan Jateng Butuh 1,7 Juta Kopi KTP

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Bakal calon perseorangan yang akan mendaftar pada Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2018 harus mengumpulkan dukungan minimal 1.781.606 suara dan dibuktikan dengan salinan kartu tanda penduduk untuk masing-masing dukungan.
"Angka tersebut diperoleh dari penghitungan daftar pemilih tetap pemilu terakhir yakni 27.409.316 dikali 6,5 persen yang hasilnya dibulatkan menjadi 1.781.606 suara," kata Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah Joko Purnomo di Semarang, Senin (11/9).
Ia menjelaskan bahwa hal itu diatur dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 9 Huruf D yang menyatakan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilu terakhir lebih dari 12 juta jiwa, maka harus didukung paling sedikit 6,5 persen.
Selain menetapkan jumlah minimal dukungan untuk pasangan calon perseorangan, KPU Provinsi Jateng juga menetapkan jumlah minimal sebaran dukungan yaitu 18 kabupaten/kota di Jateng. Penetapan tersebut dituangkan dalam Keputusan KPU Provinsi Jateng Nomor 9/PL.03.2.Kpt/33/Prov/IX/2017.
Joko menyebutkan, syarat dukungan pasangan calon perseorangan Pilgub Jateng 2018 diserahkan ke KPU Provinsi Jateng pada 22-26 November 2017. "Syarat yang harus dikumpulkan adalah formulir pernyataan dukungan dan bukti identitas diri KTP-El atau surat keterangan yang dikeluarkan instansi berwenang," ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai calon yang maju melalui jalur perseorangan akan sulit memenangi Pilgub Jateng 2018. "Di Jateng, kans menang untuk calon perseorangan atau independen masih kecil dibandingkan calon yang diusung partai politik," katanya.
Menurut dia, kandidat Pilgub Jateng yang maju melalui jalur perseorangan harus memiliki jaringan sampai tingkat paling bawah yakni RT/RW. Kemudian, membutuhkan struktur pemenangan sampai tingkat bawah karena Provinsi Jateng sangat luas yakni terdapat 35 kabupaten/kota yang di dalamnya terdapat ribuan desa.
"Dengan kondisi Jateng yang luas, tidak mudah untuk menguasainya, kemudian juga membutuhkan modal ekonomi yang sangat besar, baik untuk memenuhi persyaratan maupun untuk pemenangan," ujarnya.
Selain itu, kata dia, di Provinsi Jateng tidak ada tradisi calon independen sehingga psikologi politik masyarakat masih terhitung rendah dan pemilih tidak terlalu mengapresiasi pada calon perseorangan karena tidak memiliki "kaki tangan" di lapangan.
Teguh Yuwono: Partai Harus Berkoalisi pada Pilpres 2019

Semarang, ANTARA JATENG - Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen dari total kursi DPR RI mengharuskan partai politik berkoalisi pada Pemilihan Presiden RI 2019, kata akademisi Teguh Yuwono.
Begitu pula, jumlah suara masing-masing peserta Pemilu 2014, tidak ada satu pun di antara parpol yang meraih 25 persen dari total suara secara nasional sehingga mereka harus berkoalisi, kata Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Dr.Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. kepada Antara di Semarang, Jumat malam.
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu ketika merespons keputusan Rapat Paripurna DPR RI, Jumat dini hari, yang menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang yang antara lain berisi persyaratan parpol untuk mengusung pasangan calon peserta pada Pemilu Presiden RI 2019.
Berdasarkan hasil Pemilu DPR RI 2014, tidak ada satu pun parpol yang meraih 112 kursi (20 persen dari 560 kursi) DPR RI. PDI Perjuangan, misalnya, meraih 109 kursi dari 23.681.471 (18,95 persen) suara, kemudian Partai Golkar 91 kursi dari 18.432.312 (14,75 persen) suara.
Berikutnya, Partai Gerindra 73 kursi 14.760.371 (11,81 persen) suara; Partai Demokrat 61 kursi 12.728.913 (10,19 persen) suara; Partai Amanat Nasional 49 kursi dari 9.481.621 (7,59 persen) suara; Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi dari 11.298.957 (9,04%)suara.
Selanjutnya, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi dari 8.480.204 (6,79 persen) suara; Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi dari 8.157.488 (6,53 persen) suara; NasDem 35 kursi dari 8.402.812 (6,72 persen) suara; dan Hanura 16 kursi dari 6.579.498 (5,26 persen) suara.
Dengan demikian, lanjut Teguh Yuwono, mereka harus berkoalisi untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pilpres mendatang.
Perpu Ormas untuk Melindungi Negara
Beberapa kalangan akademisi perguruan tinggi Kota Semarang, diantaranya Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA (Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo), Prof Dr Mahmutarom MHum (Rektor Unwahas Semarang), Dr Teguh Yuwono MPol Admin (Pakar Ilmu Politik Undip) dan Dr Eny Purwanti SH MHum (Pakar Hukum Tata Negara Undip), Sabtu (19/8/2017) malam mengupas Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Massa dalam Grup Diskusi yang digelar DPD KNPI Kota Semarang di Hotel Siliwangi Semarang.
Diskusi yang dihadiri berbagai kalangan, dari tokoh masyarakat, kalangan akademisi, mahasiswa dan ormas ini membuka pandangan terhadap upaya melindungi kedaulatan negara daripada isu pemberangusan kemerdekaan berserikat.
Moderator Dr Bahrul Fawaid SHI MHI yang memandu diskusi menyatakan bahwa perlu banyak yang harus dipahami tentang terbitnya Perppu No 2 tahun 2017 yang mengatur Ormas. Sebab Perppu tersebut skupnya bukan saja pada persoalan komunisme saja melainkan pada persoalan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan berpotensi mengancam kedaulatan NKRI.
Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA sebagai narasumber diskusi mengungkapkan bahwa seolah-olah Perppu No 2 tahun 2017 ini muncul karena persoalan HTI. Padahal HTI sudah dibubarkan sebelum lahirnya Perppu. HTI sendiri menurut Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA dibubarkan tidak melalui Perppu melainkan keputusan politik.
"Saya menilai, sebenarnya Perppu ini bagus, namun sayangnya momen dan casingnya tidak bangus. Oleh karena itu perlu upaya agar tidak mencederai negara Indonesia sebagai negara hukum", ujar Prof Dr Ahmad Rofiq MA.
Menurut Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang, adanya ormas anti Pancasila seperti HTI yang kemudian menjadi besar juga karena adanya pembiaran dari pemerintah. "Padahal hal ini sudah pernah saya serukan kepada polisi untuk menangkap mereka yang sudah nyata-nyata anti Pancasila, namun karena payung hukum subversif sudah dicabut, polisi jadi tidak dapat berbuat apa-apa," ungkapnya.
Isu khilafah yang ingin mengganti Pancasila menurut KH Ahmad Rofiq kurang pas dan bertentangan dengan komitmen pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Bagaimana mungkin mereka ingin mengganti khilafah, mereka kan tidak ikut berdarah-darah mendirikan bangsa ini. Karena itulah sangat wajar kalau banyak yang marah ketika ada yang ingin menggeser Pancasila," lanjutnya.
KH Ahmad Rofiq juga menegaskan bahwa kunci penanganan ada pada pemimpin. Karenanya pemimpin harus adil, sebab bila tidak adil yang terjadi adalah saling memangsa. Untuk menegakkan NKRI menurutnya harus hindari radikalisme agama, hindari radikalisme sekuler dan siapapun yang hidup di Indonesia berkewajiban menjaga Pancasila, NKRI, UUD45 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara Dr Teguh Yuwono MPol Admin menegaskan bahwa negara ini dibangun bukan untuk clas atau berkonflik. Negara tidak membiarkan kelompok-kelompok berkelahi sendiri. Karena bernegara itu ada tatanannya. Ketika negara didirikan, orang bersepakat bahwa kekerasan yang sah di tangan negara. Kecuali kalau perang. Negara yang punya hak mengatur, karenanya tidak bisa negara membunuh organisasi atau rakyatnya kalau tidak punya dasar hukum.
"Perppu ini merupakan dasar hukum untuk mengatur negara. Perppu ada tidak hanya utuk membubarkan HTI saja, melainkan juga mengatur ormas yang separatis atau subversif. Jadi Perppu ini konteksnya adalah untuk mengatur dan melindungi negara," kata Teguh Yuwono.
Perppu No 2 Tahun 2017 menurutnya ada untuk 3 tujuan, yakni mengatur, melindungi dan memaksa. Mengatur kebebasan berserikat, melindungi ormas yang setia NKRI dan berasas Pancasila, serta memaksa mereka yang tidak tunduk pada aturan dan hukum negara, termasuk bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Prof Dr Mahmutarom MHum mengatakan apapun bentuknya, termasuk Perppu No 2 Tahun 2017 ini adalah produk hukum yang mengatur dan harus dijunjung tinggi. Persoalannya ada pada impact, sehingga jangan sampai tidak memberi efek jera. Rektor Unwahas Semarang ini mencontohkan pada kasus narapidana korupsi yang ternyata jumlahnya paling banyak dan ternyata mereka merasa di penjara itu seperti menjalankan ibadah haji. Makan dan ibadah sangat teratur dan setiap saat mendapatkan bimbingan rohani. Mahmutarom khawatir sanksi hukum justru tidak dapat memberikan efek jera, selain itu juga menjadi beban negara apabila ternyata banyak pelaku subversif yang harus dipidanakan sebagai tindak lanjut menegakkan Perppu tersebut.
Sedangkan Dr Eny Purwanti SH MHum mengutip mantan Guru Besar Hukum Undip Alm Prof Dr Satjipto Rahardjo bahwa sejak lahir, Undang-undang telah cacat hukum. Sebab undang-undang merupakan ciptaan manusia yang tidak pernah sempurna. Oleh karenanya pasti ada celah kelemahan. Oleh karena itu Perppu diharapkan dapat menutup celah tersebut.
Kepala Kesbangpol Kota Semarang Drs Isdiyanto yang hadir mewakili Walikota Semarang Hendrar Prihadi menutup FGD bertemakan 'Menguatkan Rajut Keindonesiaan, Indonesia bebas dari Paham Anti Pancasila' menguatkan subtansi Perppu No 2 Tahun 2017, bahwa negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Pelanggaran terhadap asas dan tujuan Ormas yang didasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama dan kebangsaan pelaku," ungkap Isdiyanto.
Sumber : http://krjogja.com/web/news/read/41567/Perpu_Ormas_untuk_Melindungi_Negara
Sistem Pilpres 2019 Mudahkan Rakyat Memilih

Semarang, - Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai sistem Pemilihan Umum Presiden 2019 dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden 20 atau 25 persen bakal memudahkan rakyat memilih calon presiden.
"Dengan ketentuan presidential threshold 20 persen dari kursi DPR RI atau 25 persen dari total suara sah pada Pemilu 2014, kemungkinan besar paling banyak tiga pasang calon," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Sabtu pagi.
Ia menegaskan, "Karena di antara parpol tidak bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, praktis mereka berkoalisi. Paling banter muncul tiga peserta pilpres sehingga rakyat mudah menentukan pilihannya."
"Apakah koalisi itu cara yang baik dalam berpolitik?" tanyanya, kemudian dia menjawabnya, "koalisi sebetulnya satu cara untuk penyederhanaan partai. Kalau nol persen, semua orang bisa mencalonkan dan semua parpol bisa mengusung pasangan calon. Hal ini yang rumit."
Dengan demikian, kata Teguh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu lebih menguntungkan, di samping simpel, memudahkan rakyat memilih, juga lebih efisien dalam sisi anggaran karena pelaksanaannya cukup satu putaran.
"Kemungkinan besar pada Pilpres 2019, head to head, dua pasangan calon. Kalaupun ada tiga pasangan calon, kontestan ketiga paling hanya pelengkap penderita," ujarnya.
Kendati demikian, lanjut Teguh, meski DPR RI, Jumat (21/7) dini hari, telah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU, undang-undang ini belum final karena masih ada pihak yang mengajukan uji materi UU Penyelenggaraan Pemilu terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
"Hasil Rapat Paripuna DPR RI belum menjadi kepastian hukum karena masih ada upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Teguh.
Metode Konversi Suara Pemilu 2019 Lebih Adil

Semarang, ANTARA JATENG - Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIPUniversitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai sistem Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD 2019 yang menerapkan metode konversi suara sainte lague lebih adil bagi partai politik.
"Sistem sainte lague dipandang lebih adil bagi partai, termasuk partai menengah dan kecil," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. kepada Antara di Semarang, Minggu siang, ketika menjawab pertanyaan untung dan ruginya metode konversi suara sainte lague dan quota hare bagi parpol.
Teguh menegaskan bahwa perbedaan kedua metode konversi suara itu pada teknik pembagian kursinya. Kalau sainte lague tidak menggunakan bilangan pembagi pemilih (BPP), tetapi menggunakan bilangan pembagi tetap (BPT), yaitu dibagi 1,4 ; 3; 5; 7; 9; dan seterusnya bilangan ganjil.
Sainte lague, katanya lagi, perolehan kursi berdasarkan persaingan kekuatan parpol di masing-masing daerah pemilihan (dapil), sedangkan quota hare itu perolehan kursi dibagi suara BPP sehingga ada harga satu kursi berapa suaranya.
Partai yang mampu mencapai kuota suara dalam BPP dapat kursi. Misalnya, BPP 10.000 suara maka partai yang mencapai suara 10.000 dapat satu kursi. Begitu seterusnya pada hitungan kedua dan ketiga hingga kursi terbagi habis.
Menurut Teguh, keuntungan sainte lague adalah partai yang kompetitif di dapil berpeluang memenangi satu kursi atau lebih. Dalam hal ini, partai yang dominan banyak diuntungkan dengan sistem tersebut.
"Jadi, parpol-parpol besar dan dominan diuntungkan dengan sistem sainte lague. Begitu pula, dalam sistem quota hare, partai besar juga lebih diuntungkan," katanya.
Pengamat sebut calon independen berat bertarung di Pilgub Jateng

"Di Jateng, kans menang untuk calon perseorangan atau independen sangat kecil dibandingkan calon yang diusung partai politik,"
Sejumlah tokoh yang diperkirakan bakal berlaga pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2018 mulai muncul. Bahkan disinyalir bakal ada calon yang datang dari non partai. Hal itu pernah disampaikan Ketua KPU Jawa Tengah Joko Purnomo bahwa ada sejumlah tokoh masyarakat yang berencana maju sebagai bakal calon dari jalur independen atau perseorangan.
Terkait hal itu, Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai calon yang maju melalui jalur perseorangan akan sulit memenangi Pilgub Jateng 2018. "Di Jateng, kans menang untuk calon perseorangan atau independen sangat kecil dibandingkan calon yang diusung partai politik," katanya kemarin.
Menurut dia, kandidat Pilgub Jateng yang maju melalui jalur perseorangan harus memiliki jaringan sampai tingkat paling bawah yakni RT/RW.
Kemudian, membutuhkan struktur pemenangan sampai tingkat bawah karena Provinsi Jateng sangat luas yakni terdapat 35 kabupaten/kota yang di dalamnya terdapat ribuan desa.
"Dengan kondisi Jateng yang luas, tidak mudah untuk menguasainya, kemudian juga membutuhkan modal ekonomi yang sangat besar, baik untuk memenuhi persyaratan maupun untuk pemenangan," ujarnya.
Dilansir dari Antara, Teguh Yuwono mengatakan di Provinsi Jateng tidak ada tradisi calon independen sehingga psikologi politik masyarakat masih terhitung rendah dan pemilih tidak terlalu mengapresiasi pada calon perseorangan karena tidak memiliki "kaki tangan" di lapangan.
"Calon independen juga harus memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang sangat baik. Sejauh ini, belum ada figur yang mampu mengalahkan popularitas dan elektabilitas Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, calon yang menandingi harus selevel dengan beliau, kalau di bawahnya ya berat," katanya.
Menu Utama
Topik Terbaru

Tingginya Penyerapan di ...
JAKARTA, AYOSEMARANG.COMN-- Kementerian ...

Pengamat Undip Sebut ...
JAKARTA, iNews.id - Sejumlah lembaga ...
FOTO KEGIATAN
-
Berita Terakhir
-
Berita Populer